Manusia Ter Aneh, 17 Tahun Hidup Di Pohon

[imagetag] [imagetag]

BUKAN untuk memecahkan rekor, bukan pula ingin ngetop. Hampir separuh hidupnya, Bungkas nangkring di puncak pohon siwalan tua. Tanpa pernah menginjak tanah sama sekali. Percaya tak percaya, bulan ini genap 34 tahun ia melakoni hidup sebagai "manusia pohon". Tapi jangan membayangkan keunikannya ini bakal menuai penghargaan dari lembaga pencatat rekor, misalnya.

Maklum, Bungkas cuma penduduk desa terpencil di Pamekasan, Madura. Ia diduga keras mengalami depresi mental. Meski begitu, lelaki 70 tahun itu tak sekali pun bikin onar. Bak pertapa, Bungkas enjoy saja menghabiskan hari-harinya di atas pohon, tak jauh dari rumahnya di Desa Bangkes, Kadur, Pamekasan. Ia menempati gubuk bambu berukuran 1x 2 met er. "Saya enak di sini, buat apa turun," katanya kepada GATRA.

Selama hampir seperempat abad, keperluan Bungkas sehari-hari dipasok istri dan ketiga anaknya. Sejak sang istri meninggal 10 tahun silam, anak sulungnya, Rohemah, yang memenuhi kebutuhan Bungkas. Kebetulan Rohemah, 40 tahun, menempati rumah sederhana warisan sang ayah. Dua adiknya, Rida'i, 38 tahun, dan Hasin, 36 tahun, tinggal di rumah sendiri di desa tersebut.

Rohemah mengirim makanan dengan cara mengereknya menggunakan tali plastik. Sehari cukup sekali ransum dikirim, berupa nasi dan lauknya, serta air minum. "Dikirimnya setiap pukul 11 siang," kata Rohemah. Entah apa pertimbangannya. Tak lupa, Rohemah menyisipkan rokok. Kadang rokok kretek, sering pula rokok lintingan. Bungkas tak pernah protes.

Sisa-sisa makanan dan puntung rokok dicampakkan Bungkas begitu saja. Sampah itu berserakan di bawah pohon. Anehnya, tak ada bekas-bekas buang haja t di situ. Entah, bagaimana cara Bungkas melepas kotorannya. Ia selalu menolak dikirimi sabun, handuk, atau sikat gigi. Meski tak pernah mandi, ia tak kelihatan merasa gatal. Sesekali ia bertukar pakaian dan memangkas rambutnya sendiri.

Bungkas diketahui mulai bersarang di pohon pada awal 1970. Saat itu usianya 36 tahun. Seingat Rohemah --kala itu berusia 6 tahun-- awalnya sang ayah yang petani itu cekcok dengan sang ibu. Bungkas ngambek, lalu tahu-tahu memanjat pohon siwalan tua dan tidak pernah turun. Pohon berdiameter 83 sentimeter itu tumbuh kokoh di lereng perbukitan sekitar 500 meter dari rumahnya,13 kilometer arah tenggara kota Pamekasan.

Belakangan, Rohemah dapat cerita perihal penyebab lain ayahnya berbuat nekat itu. Konon, Bungkas merasa mendapat ancaman dari penganut aliran tarekat tertentu. Ia dianggap menyebarluaskan aliran itu tanpa izin perguruan resminya. Bungkas sebelumnya pernah belajar di satu pesantren di Pamekasan. Dugaa n lainnya, ya, Bungkas mengalami depresi.

Bungkas pun meninggalkan keluarganya. Ia asyik dengan "habitatnya" yang baru. Untung sang istri masih menyuplainya makanan. Mulanya, warga dan polisi berinisiatif membujuk Bungkas untuk turun. Ia marah-marah dan bahkan mengancam dengan tombak. Sejak itu, Bungkas tak pernah diusik, dan dijuluki "si manusia pohon".

Pelan-pelan, dengan peralatan seadanya yang dipasok dari bawah, Bungkas membangun bilik bambu. Di situlah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ketika istrinya meninggal, Bungkas tak turun. Dari biliknya di ketinggian 15 meter, ia cukup puas mendengar cerita anak-anaknya mengenai kepergian sang istri.

Jangankan turun ke bumi, keluar bilik pun pantang bagi Bungkas. Jika berdialog dengan orang, dia hanya menongolkan kepalanya sembari berteriak. Meski uzur, lelaki berkulit gelap tersebut mampu bersuara keras.

Belakangan, kehidupan Bungkas yang unik ini menjadi buah bibir warga Pamekasan. Orang di luar Madura pun membicarakannya. Bungkas dianggap sebagai orang sakti, punya daya linuwih. Puluhan tahun di atas pohon diterpa hujan angin tidak membuatnya sakit, itu sangat tak masuk akal.

Itu pula, antara lain, yang membuat Bungkas sering dijadikan tontonan, dimintai resep obat dan nomor buntut. Menurut Lutfi, Lurah Bangkes, para tamunya itu diberi Bungkas rajahan tulisan Arab. Kabarnya, kebetulan atau tidak, kadang rajahannya itu cukup cespleng.

Namun tak semua tamu dilayani Bungkas. Kalau lagi malas, ia ngumpet di biliknya. Biasanya, para tamu memberi uang melalui kerekan. Jumlahnya tak tentu. Dari uang receh sampai puluhan ribu rupiah. Nah, dengan uang inilah Bungkas nyangoni anak-anaknya. Maka, dengan agak malu-malu, Rohemah mensyukuri bahwa laku aneh bapaknya itu ternyata masih mendatangkan berkah.

sumber
Post Title : Manusia Ter Aneh, 17 Tahun Hidup Di Pohon

Manusia Ter Aneh, 17 Tahun Hidup Di Pohon,